Tuesday, November 3, 2015

PENGANTAR STUDY HADIST-HADIST MAUDHU


“HADIST MAUDHU”
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Pada Mata Kuliah Pengantar Study Hadist
Dosen Pengampu : Nurkholidah M.pd
Di Susun oleh :

Arif Budi Santoso
Guttyka rasa
Khotibul Umam
Riza Shofiyah
Siti Muflihah

SEMESTER 1/KELOMPOK 8
FAKULTAS TABIYAH/PAI

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI CIREBON
2012M/1433H

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia terbesar yang dititipkan sampai saat ini serta memberikan kekuatan dan kemampuan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas terstruktur yang berjudul Hadits Maudu ”. Makalah ini sebagai tugas dalam memenuhi syarat mata kuliah Pengantar Study Al-Qur’an.
Dan tak lupa penulis juga ucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dan mendukung serta memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan tugas terstruktur dan tidak ada kata yang pantas diucapkan selain do’a  jazakumullah khairan katsiran.
Penulis menyadari akan hal banyak kekurangan dalam penyelesaian tugas ini. Oleh karena itu penulis memohon kontribusi kritik dan saran dari beberapa elemen demi terbentuknya sebuah khasanah keilmuan yang patut diperhitungkan.
Semoga Allah SWT membalas kabaikan mereka setimpal dengan amalnya.
Amien.





                                                                                   Cirebon,    November 2012
                                                                     

                                                                                              Penyusun








DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………  i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………… ii      
BAB I PENDAHULUAN
1.1        Latar Belakang…………………………………………………………. 1
1.2        Rumusan Masalah……………………………………………………… 1
1.3        Tujuan………………………………………………………………….. 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1        Pengertian Hadits Maudhu…………………………………………….. 2
2.2        Apa alas an adanya Hadits Maudhu…………………………………… 2
2.3        Apa cii-ciri Hadits Maudhu……………………………………………. 4

BAB III PENUTUP

3.1        Kesimpulan…………………………………………………………….  10

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………….. 11



BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang

Dalam kacamata agama islam, Al-quran dan Hadist Nabi memiliki kedudukan  yang setara. Dalam artian keduanya merupakan sumber hukum bagi setiap muslim.
Sesuatu yang malum bagi kita, bahwasannya Al-quran akan senantiasa terjaga keotentikan naskahnya hingga akhir jaman. Sehingga bagaimanapun masalahnya untuk merubah (memalsukan) ayat-ayat suci Al-quran, pasti akan segera terungkap perbuatan hal tersebut. Disebabkan Allah lah yang langsung menjaganya. Begitupun dengan Hadist yang tidak luput dari pemalsuan-pemalsuan dengan alas an ingin menyesatkan  dari jalan yang lurus atau bahkan dari fanatik terhadap sesuatu. Kita kenal Hadist ini dengan “Hadist Mudhu”. Secara singkat mempunyai pengertian “Hadist yang di ada-ada orang alias nama Nabi, dengan sengaja maupun tidak”, namun untuk meneliti-meneliti hadist palsu diperlukan potensi-potensi seperti :
1.      Kemampuan dalam ilmu Hadist
2.      Memiliki otak yang tajam
3.      Dan pemahaman yang kuat

1.2       Rumusan Masalah

1.      Pengertian Hadist Mudhu ?
2.      Apa alasan adanya pemalsuan Hadist ?
3.      Apa cirri-ciri Hadist Mudhu ?

1.2              Maksud dan Tujuan

Agar kita dapat mengetahui apa itu Hadist Maudhu, sekaligus alasan adanya pemalsuan Hadist tersebut. Dan juga cirri-cirinya, juga sebagai bahan untuk mengkaji diskusi kelompok kami agar dapat dipahami dan di mengerti. 

BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Pengertian Hadist Mudhu
Secara bahasa, kata maudhu’ merupakan isim maf’ul dari  وضع  yaitu موضوع  yang mempunyai arti al-isqath (meletakkan atau menyimpan); al-iftira’ wa al-ikhtilaq (mengada-ada atau membuat-buat); dan al-tarku (ditinggal).
Rumusan pengertian secara istilah hadits maudhu’ adalah sebagai berikut:
الموضوع المختلق المصنوع المنسوب الى رسول الله صلعم زورا وبهتانا سواء كان ذالك عمدا او خطاء                                                                                                                       
 Artinya:
“Hadits yang disandarkan kepada Rasulullah SAW secar dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan, berbuat ataupun menetapkannya.[1]
Jadi hadits maudhu’ adalah bukan hadits yang bersumber dari Rasulullah atau dengan kata lain bukan hadits Rasul, tetapi perkataan atau perbuatan seseorang atau pihak-pihak tertentu dengan suatu alasan yang kemudian dinisbatkan kepada Rasul.
Pada mulanya para ulama’ berbeda pendapat tentang benar tidaknya terjadi pemalsuan hadits jika dilihat dari periwayatannya. Dalam hal ini ada tiga pendapat di kalangan para Muhadditsin.
Pendapat pertama, dianut oleh Ahmad Amin dan Hasyim Ma’ruf Asy-Syi’I yang menyatakan bahwa pemalsuan hadits dan munculnya riwayat hadits maudhu’ mulai terjadi pada periode Nabi Muhammad SAW, didasarkan pada hadits Nabi yang mengecam keras terhadap setiap orang yang berusaha melakukan pendustaan diri Nabi, berupa berita atau pembuatan hadits. Sebagaiman sabda Nabi:
من كذب علي متعمدا فليتبواء مقعده من النار
Artinya:
“Barangsiapa berdusta terhadap diriku secara sengaja, dia pasti akan disediakan tempat kembalinya di neraka”.
Pendapat kedua, dingkapkan oleh Akram Al-Umari yang menyatakan bahwa gerakan pemalsuan hadits mulai terjadi sejak paruh kedua kekhalifahan Utsman Ibn Affan. Pada masa itu timbul pertentangan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Pendapat ini dikuatkan oleh beberapa riwayat palsu yang beredar dan berawsal dari kalangan sahabat, salah satunya riwayat Ibn Addis dari Rasulullah SAW:
(sandal Utsman lebih sesat daripada Ubaidah). Dengan riwayat tersebut bisa diduga bahwa Ibn Addis adalah orangn yang pertama melakukan pemalsuan hadits.
Pendapat ketiga, dikemukakan oleh Abu Syuhbah dan Abu Zahu, yang mengambil dasar pendapatnya dari masa terjadinya penyusupan musuh-musuh Islam ketika terjadinya masa al-fitnah (kekacauan) pada masa kepemimpinan Utsman.[2]
Adapun pengertian hadist maudhu’ menurut istilah para muhadistin adalah :
Artinya :
“Sesuatu yang dinisbatkan kepada Rosullullah SAW, secara mengada-ngada dan dusta, yang tidak beliau sabdakan, beliau kerjakan ataupun beliau taqrirkan”[1]
Kata-kata yang bisa dipakai untuk hadismaudhu adalah al-mukthalaku, al-muthala’u, al-mashnu, dan al-makzhub. Kata memiliki arti yang hamper sama. Pemakaian kata-kata tersebut adalah lebih mengokohkan (ta’kid) bahwa hadis semacam ini semata-mata dusta atas nama Rosul SAW. [2]
2.2       Alasan Munculnya Pemalsuan Hadist
Terdapat berbagai faktor munculnya pemalsuan hadist, antara lain sebagai berikut :
1.      Pertentangan Politik dalam soal Pemilihan Khalifah
Pertentangan diantara umat timbul setelah terjadinya pembunuhan terhadap Khalifah Usmant bin Affan oleh para pemberontak dan ekhalifahan diganti oleh Ali bin Abi Thalib.
Umat islam pada masa itu terpecah belah menjadi beberapa golongan yang ingin menuntut bela terhadap kematian khalifah Usmant dan golongaan yang mendukung kekhalifahan Sayyidina Ali (Syiah). Setelah perang siffin, muncul pula beberapa golongan lainnya, seperti khawarij dan golongan pendukung Muawiyah (w. 60 H).[3] 
Diantara golongan-golongan tersebut, untuk mendukung golongan masing-masing, mereka membuat hadits palsu. Yang pertama dan yang paling banyak membuat hadis maudhu’ adalah dari olongan Syi’ah dan Rafidhah. [4]
Orang-orang Syi’ah membuat hadits maudhu’ tentang keutamaan-keutamaan Ali dan Ahli Bait. Di samping itu, mereka membuat hadits maudhu dengan maksud mecela dan menjelek-jelekan Abu Bakar r.a dan Umar r.a.[5]
Diantara hadits yang dibuat oleh golongan Syi’ah adalah







Artinya :
Barang siapa yang ingin melihat Adam tentang kertinggian ilmunya, ingin melihat Nuh tentang ketakwaannya, ingin melihat Ibahim tentang kebaikan hatinya, ingin melihat Musa tentang kehebatannya, ingin melihat Isa tentang ibadahnya, hendaklah ia meliat Ali.
2.      Adanya Kesengajaan dari Pihak Lain untuk Merusak Ajaran Islam
Golongan ini adalah terdiri dari golongan Zindiq, Yhudi, Majusi, dan Nasrani yang senantiasa menyimpan dendam terhadap ajaran agama islam. Faktor itu merupakan faktor awal munculnya hadits maudhu’. Hal ini berdasarkan peristiwa Abdullah bin Saba’ yang mencoba memecah- belah umat islam dengan bertopengkan kecintaan kepada Ahli Bait.
3.      Mempertahankan Mazhab dalam Masalah Fiqh dan Masalah Kalam
Para pengikut mazhab fiqih dan pengikut ulam kalam, yang bodoh dan dangkal ilmu agamanya, membuat pula hadits-hadits palsu untuk menguatkan paham pedirian imannya.
Mereka yang fanatic terhadap mazhab Abu Hanifah yang menganggap tidak sah sholat mengangkat kedua tangan dikala sholat, membuat hadits maudhu’ sebagai berikut :


Artinya :
Barang siapa megangkat kedua tanganya didalam shalat, tidak sah sholatnya.
4.      Membangkitkan Girah Berbadah untuk Mendekatkan Diri Kepada Allah
Mereka membuat hadits-hadits palsu dengan tujuan menarik orang untuk lebih  mendekatkan diri kepada Allah, melalui amalan-amalan yang mereka ciptakan, atau dorongan-dorongan untuk meningkatkan amal, melalui hadits tarhib wa targhib (anjuran-anjuran untuk meninggalkan yang tidak baik dan untuk mengerjakan yang dipandannya baik), dengan cara berlebih-lebihan. [6]
5.      Menjilat Para Penguasa untuk Mencari Kedudukan atau Hadiah
Ulam-ulam su’ membuat hadits palsu ini untuk membenarkan perbuatan-perbuatan para penguasa sehingga dari perbuataanya tersebut, merea mendapat upah dengan diberi kedudukan atau harta.

2.3       Ciri-Ciri Hadits Maudhu   
Para ulama Muhadistin, disamping membuat kaidah-kaidah untuk mengetahui sahih, dhaif, suatu hadits, mereka juga menentukan cirri-ciri untuk mengetahui ke maudhuan suatu hadist.
Ke Maudhu-an suatu hadits dapat dilihat pada cirri-ciri yang terdapat pada sanad dan matan.
1.      Cirri-ciri yang Terdapat pada Sanad
Terdapat banyak cirri-ciri ke Maudhu-an hadits yang terdapat pada sanad. Cirri-cirinya tersebut adalah :
a.       Rawi tersebut terkenal berdusta (seorang pendusta) dan tidak ada seorang rawi yang terpercaya yang meriwayatkan hadits dari dia.[7]
b.      Pengakuan dari si pembuat sendiri, seperti pengakuan seorang guru tasawuf, ketika ditanya oleh Ibnu Ismail tentang keutamaan ayat=ayat Al-Quran, yang serentak menjawab, “Tidak Seorangpun yang meriwayatkan hadits kepadaku. Akan tetapi, serentak kami melihat manusia sama membenci Al-Quran, kami ciptakan untuk mereka hadits ini (tentang keutamaan ayat-ayat Al-Quran). Agar mereka menaruh perhatian untuk mencintai Al-Quran.
c.       Kenyataan sejarah, mereka tidak mungkin bertemu, misalnya ada pengakuan dari seorang rawi  bahwa ia menerima hadits dari seorang guru, padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru tersebut, atau ia lahir sesudah guru tersebut meninggal, misalnya ketika Ma’mun Ibn Ahmad As-Sarawi mengaku bahwa ia menerima hadits dari Hisyam Ibn Amr kepada Ibnu Hibban maka Ibnu Hibban betanya, “kapan engkau pergi ke syam ?”. Ma’mun menjawab, “pada tahun 250 H.” Mendengar itu, Ibnu Hibban berkata, “Hisyam Meninggal dunia pada tahun 245 H.[8]
d.      Keadaan Rawi dan faktor-faktor yang mendorongnya membuat hadits maudhu, misalnya seperti yang dilakukan oleh Ghiyats bin Ibrahim, kala ia berkunjung ke rumah Al-Mahdi yang sedang bermain dengan burung merpati, yang berkata,


Tidak sah perlombaan itu, selain mengadu anak panah, mengadu unta, mengadu kuda, atau mengadu burung.
Beliau menambahkan kata “au janahin” (atau mengadu burung), untuk menyenangkan Al-Mahdi, lalu Al-Mahdi memberinya sepuluh ribu dirham. Setelah ia berpaling, sang Amir berkata, “Aku bersaksi bahwa tengukmu adalah tengkuk pendusta atas nama Rosulullah SAW”, lalu ia memerintahkan untuk menyembelih merpati itu. Tingkah laku Ghiyats semacam itu menjadi qarinah untuk menetapkan ke maudhua-an suatu hadits.
2.      Cirri-ciri yang terdapat apada matan
Terdapat banyak pula cirri-ciri hadits maudhu yang terdapat dalam matan, diantaranya sebagai berikut :
a.       Keburukan susunan lapadznya
Cirri ini akan diketahui setelah kita mendalami ilmu Byan. Dengan mendalami ilmu Byan ini, kita akan merasakan susunan kata, mana yang akan mungkin keluar dari mulut Nabi SAW., dan makna yang tidak mungkin keluar dari mulut Nabi SAW.
b.      Kerusakan maknanya
1.      Karena berlawanan dengan akal sehat, seperti hadist :



Sesungguhnya bahtera Nuh berthawaf tujuh kali keliling kabah dan bersembahyang di maqam Ibrahim dua rakaat.

2.      Karena berlawanan dengan hukum akhlak yang umum, atau menyalahi kenyataan, seperti berikut :



Tiada dilahirkan seorang anak sesudah tahun seratus, yang ada padanya keperluan bagi Allah.

3.      Karena bertentangan dengan ilmu kedokteran, seperti hadits,


Buah terong itu penawar bagi segala penyakit.

4.      Karena menyalahi undang-undang (ketentuan-ketentuan) yang ditetapakan akal terhadap Allah. Akal menetapkan bahwa Allah suci dari serupa dengan mahkluknya. Oleh karena itu, kita menghukumi palsu hadits berikut ini.




Sesungguhnya Allah menjadikan kuda betina, lalu ia memacukannya. Maka berpeluklah kuda itu, lalu Tuhan menjadikan dirinya dari kuda itu.

5.      Karena menyalahi hukum-hukum Allah dalam menciptakan alam, seperti hadits menerangkan bahwa ‘Auj ibn ‘Unud mempunyai panjang tiga ratus hasta. Ketika Nuh menakutinya dengan air bah, ia berkata, “Bawalah aku kedalam piring mangkukmu ini. “etika topan terjadi, air sampai ke tumitnya saja. Kalu mau makan, ia memasukkan tangannya ke dalam laut, lalu membakar ikan yang diambilnya ke panas matahari yang tidak seberapa jauh dari ujung tangannya. [9]
6.      Karena mengandung dongeng-dongeng yang tidak masuk akal sama sekali, seperi hadits :



Ayam putih kekasihku dan kekasih dari kekasihku jibril.

7.      Bertentangan dengan keterangan Al-Quran, hadits Mutawatir, dan kaidah-kaidah kulliyah. Contoh hadits maudhu yang maknanya bertentangan dengan Al-Quran  adalah hadits :


Anak zina itu tidak dapat masuk surga sampai tujuh turunan.

Makan hadits ini bertentangan dengan kandungan Q.S. Al-An’am [6] : 164, yaitu :



Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. (Q.S. Al-An’am[6]:164)

Ayat tersebut menjelaskan bahawa dosa seseorang tidak dapat dibebankan kepada orang lain, seorang anak sekalipun tidak dapat dibebani dosa orang tuanya.
Contoh lainnya, yaitu :




Umur dunia itu tujuh ribu tahun, dan sekarang dating pada ribuan yang ke-7.

Hadits tersebut maudhu’ karena hanya Allah-lah yang mengetahui kapan dunia ini akan berakhir. Sesuai firman-Nya :





Mereka menanyakan kepadamu tentang Kiamat, “Bilakah terjadinya?” Katakanlah, “Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku, tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangan, selain Dia”. (Q.S. Al-A’raf [7] :187)

Contoh hadits maudhu’ yang bertentangan dengan hadits mutawatir, yaitu :




Barang siapa yang melahirkan seorang anak, kemudian dinamai Muhammad, ia dan anaknya akan masuk surga.

Hadits tersebut bertentangan dengan kaidah umum bahwa yang masuk surge dalah mereka yang melakukan amalan-amalan shaleh, bukan denan nama atau gelar.
8.      Menerangkan suatu pahala yang sangat besar  terhadap perbuatan-perbuatan yang sangat kecil, atau siksa yang sangat besar terhadap suatu perbuatan yang sangat kecil.
Contohnya, yaitu :




Barang siapa mengucapkan tahlil (la ilaha allallah) maka Allah menciptakan dari kalimat itu seekor burung yang mempunyai 70.000 lisan, dan setiap liasan mempunyai 70.000 bahasa yang dapat memintakan ampun kepadanya.[10]

















BAB III
PENUTUP

3.1        Kesimpulan

Dari pembahasan Materi diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa hadits maudhu’ adalah segala sesuatu yang disandarkan kepaa Nabi Muhammad SAW, baik perbuatan, perkataan, maupun Taqrir-Nya, secara rekaan atau dusta semat-mata. Dalam penggunaan masyarakat Islam, hadits maudhu’ disebut juga engan haits palsu.
















DAFTAR PUSTAKA

Drs.M.Agus Solahudin, M.Ag., Agus Suyadi, Lc. M.Ag. 2011. Ulumul Hadis. Bandung. CV Pustaka Setia.





















[1]  Muhammad ‘Ajjaj Al-Khttib. Ushul Al-Hadits. Terj. H.M. Qodirun  dan Ahmad Musyafiq. Jakarta: Gaya Media    Pratama. Hlm. 352
[2]  Utang Ranuwijaya. Ilmu Hdits. Jakarta: Gaya Media Pratam. 1996. Hlm. 189.
[3]  Ibid.
[4]  M. Hasbi Ashshiddieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Bulan Bintang. 1987. Hlm. 246.
[5]  Ibid.
[6]  Ranuwijaya. Op.cit. hlm. 193.
[7]  Ash-Shiddieqy. Op.cit. hlm. 237.
[8]  Ibid. hlm. 238.
[9]  Ibid.
[10]  Ibid. hlm. 173-174.


No comments:

Post a Comment